Dakwah

Spirit Moderasi Beragama di Tahun Politik

0Shares

Penulis: Kana Kurniawan

Ketua Umum PP Pemuda PUI, Pengurus DPP Majelis Dai Kebangsaan

 

PUI.OR.ID – Layaknya bangsa yang akan menyambut pesta besar. Suasana kebatinan rakyat Indonesia berharap-harap cemas. Andaikan pilihannya tidak terpilih apa yang terjadi pada masa depan mereka dan negara ini. Karenanya, panggung politik pasangan Capres dan Cawapres beserta para pendukungnya menjadi topik perbicangan publik. Semua berharap visi misi para kontestan bukan sekedar jargon, terutama terkait kebutuhan pokok dasar rakyat.

Hajat besar yang menyedot dana APBN sebesar Rp 70,5 triliun tersebut menguji kekuatan ikatan kebangsaan dan kenegarawanan rakyat terutama para pasangan calon peserta pemilu. Lumrahnya pesta demokrasi, guna menaikkan elektoral kandidatnya semua strategi dilakukan yang merembet ke semua kalangan, dari agamawan, intelektual, pengusaha hingga masyarakat bawah. Begitu riuhnya.

Sisi positif dari riuhnya suasana membuka ruang dialog masyarakat dalam menentukan masa depan dan mencari pilihan terbaik. Tapi di sisi lain, jika tidak bijak memancing friksi antar individu dan kelompok pendukung. Dan bisa saja terjadi benturan fisik serta kekerasan politik yang menodai nilai-nilai demokrasi serta mengantarkan pada proses hukum pidana.

Umat Yang Satu: Bhineka Tunggal Ika

Dalam konteks demokrasi, beda pilihan dan beda cara pandang dalam menentukan pasangan dianggap paling mumpuni merupakan keniscayaan yang dalam di negara kita dikenal dengan “Bhineka Tunggal Ika,” berbeda-beda tetapi satu tujuan. Beda pilihan tetapi memiliki satu tujuan Indonesia tetap bersatu, kuat dan semakin maju. Tidak menimbulkan perpecahan hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan.

Partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik merupakan hal lumrah dan karena memang pemilik suara adalah rakyat. Bila falsafah Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan persatuan kebangsaan, al-Qur’an (QS.21:92) secara tegas mengatakan, bahwa umat ini (manusia) secara keseluruhan adalah satu kesatuan (ummatan wahidatan) yang diperintahkan untuk patuh beribadah.

Pada ayat yang hampir mirip (QS. 23:52), Allah kembali menegaskan persatuan umat (ummatan wahidatan), yang dipastikan umatnya beragam, tidak satu madzhab, berbeda suku, bahasa, warna kulit, strata sosial. Dalam gambaran beragam, kalimat (wa ana robbukum), “dan Akulah Tuhan Kalian,” semua umatnya yang berbeda, Dia naungi, semuanya diberikan karunia maupun proses penciptaan dari asal yang sama tetapi dalam kehidupannya berbeda-beda.

Satu kesatuan sebagai umat memiliki semangat yang sama dengan sila ketiga Pancasila, yakni persatuan Indonesia. Bukan untuk golongan atau individu, persatuan di atas kepentingan semua. Dalam kemajemukan elemen bangsa tidak menempatkan satu golongan lebih mulia dibandingkan kelompoknya. Tidak merasa golongannya lebih punya hak memimpin dan mengelola negara ini. Hak semua sejajar dan setara tidak ada yang lebih istimewa.

Sebagai bangsa religius dan majemuk, sikap bijak dalam menyalurkan aspirasi politik akan mengedepankan nilai-nilai persaudaran, yakni ukhuwah Islamiyah (antar sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (antar anak bangsa), dan ukhuwah basyariyah (antar sesama manusia). Jika tiga hal menjadi landasan toleransi dalam ke-Bhinekaan, tercipta saling menghormati, tanpa saling hasud, membuka aib, mengunjing dan fitnah yang menyebabkan ikatan kekeluargaan serta harmoni kemasyarakatan terpecah.

Merawat Demokrasi dari Spirit Keagamaan

Suasana harmonis yang telah dipupuk jangan sampai ternodai karena beda pilihan. Keriuhan para elit tidak semestinya arus bawa ikut gaduh. Keriuhan bukan dan tidak lain sebagai cara menaikkan bargaining, gimmick atau retorika balasan. Di luar layar, keterhubungan dan komunikasi akan selalu terjadi di akhir pemilu bahkan dipertengahan saat menemukan momentumnya. Sebagaimana fakta sebelumnya, Prabowo duet dengan Megawati (2004), Joko Widodo (2012) dan Anis Baswedan (2017) didukung Prabowo di pilgub DKI dan atau Prabowo-Sandiaga S. Uno masuk kabinet selepas pemilu 2019.

Melihat realitas demikian, payung kebangsaan sekaligus pilar keberagaman bisa menggunakan nilai-nilai moderasi beragama dalam demokrasi. Merawat keindonesiaan jauh lebih penting dibandingkan fanatisme berlebihan golongan. Yang paradigmanya mengutamakan kemaslahatan kebangsaan, menciptakan suasana bahagia, damai, harmonis serta toleran merujuk Arah Kebijakan Penguatan Moderasi Beragama dalam RPJMN 2020-2024 berlandaskan nilai-nilai agama (Kemenag RI, 2023).

Moderasi beragama mengandung banyak pesan keagamaan sebagai pagar dalam merawat demokrasi di tahun politik yakni memelihara jiwa sesama, meninggikan kedaban mulia sebagai nilai moral universal, menjunjung kesetaraan sebagai penghormatan harkat martabat manusia, menciptakan perdamaian, menghormati kemajemukan dan patuh terhadap konstitusi sebagai komitmen kebangsaan.

Oleh karenanya, pemilu bukan sebagai ajang perang fisik, bukan ajang untuk saling menyakiti antar sesama. Tapi ijtihad politik kemaslahatan negara. Terdapat aktivitas politik yang ditandai dengan kampanye, pemilihan presiden-wakil presidan dan legislatif yang melibatkan partisipasi masyarakat. Yang tujuan akhirnya hendak mewujudkan negara maju, mengentaskan kemiskinan, mewujudkan kemakmuran, hukum dan HAM berkeadilan setara dengan kerja-kerja kolektif, antara legislatif, eksekutif dan penegak hukum yang diawasi oleh masyarakat serta perwakilan rakyat (DPR/DPRD).

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *